Review Film Asimetris

REVIEW FILM
“ASIMETRIS”

            Pada awal mula film ini berlangsung, penonton telah disuguhkan dengan bencana kebakaran dan kabut asap yang terjadi di hutan Kalimantan Tengah. Semua itu tidak terjadi  bukan tanpa adanya sebab, proyek pemerintah 20 tahun silam hendak menciptakan berhektar-hektar sawah pada lahan gambut yang salah satunya sudah dibangun bendungan untuk irigasi. Namun dengan gagalnya proyek tersebut, memiliki dampak kepada masyarakat karena tidak mendapatkan ganti rugi atas perbuatan yang dilakukan oleh pemerintah. Bendungan yang dibangun tidak pernah berfungsi semestinya, masyarakat pun tidak bisa menerima begitu saja merelakan semua pohon karet dan rotan yang mengalami kerusakan tanpa adanya kompensasi. Proyek itu menyisakan saluran irigasi diatas hutan yang gundul dan gambut yang terlantar.

            Dampak lain yang dirasakan oleh masyarakat di Kalimantan Tengah tepatnya di Kota Palangkaraya adalah polusi udara yang kadar polusinya mencapai 1300% dari ambang kualitas udara yang sehat bagi manusia yang menyebabkan sekitar setengah juta orang diantaranya mengalami infeksi saluran pernapasan akut. Di tahun yang sama tahun 2015, kebakaran lahan dan kabut asap terjadi di Jambi, Sumatera. Perhatian dunia lebih tertuju kepada kebakaran hutan di pulau Sumatera, kabut asap yang timbul ke udara mengganggu penerbangan di Malaysia dan Singapura. Beralih ke Papua mengalami nasib yang sama dengan Kalimantan dan Sumatera, lahan perhutanan dibuka untuk perkebunan di Merauke dan Boven Digoel. Sebelumnya, proyek lahan sawah di Kalimantan Tengah mengalami kegagalan, kemudian di Merauke ada pembukaan lahan sawah satu juta hektar untuk mengulang rencana yang gagal. Salah satunya, Marga Mahuze Besar di Merauke yang mempunyai lahan tanah. Mereka tidak menginginkan diintimidasi dan dirampas tanahnya untuk membuat perkebunan kelapa sawit. Hal itu dikarenakan mereka ingin mempertahankan tanaman sagu sampai kapan pun.

            Lalu apa yang menghubungkan industri perkebunan seperti kelapa sawit dengan kebakaran hutan atau lahan? Jadi, perkebunan dan kebakaran ada kaitannya secara ekonomi. Pembakaran hutan untuk pembebasan dan pembersihan lahan dapat menghasilkan arus kas 36 juta rupiah per hektar dalam kurun waktu 3 tahun. Jika setiap lahan yang terbakar pada tahun 2015 digunakan untuk perkebunan kelapa sawit, nilainya mencapai 104 triliun rupiah. Namun buruknya, biaya ekonomi dari kebakaran hutan melebihi dari penghasilan arus kas yang ada meskipun sudah ditambah dengan nilai seluruh produksi kelapa sawit.

            Di sisi lain, ada kawasan yang tidak memiliki dampak kerusakan perkebunan dari kebakaran hutan. Bukannya tidak ada, tetapi kali ini bukan disebabkan oleh kebakaran, melainkan dari air. Di salah satu desa di Sungai Hulu Selatan, Kalimantan Selatan terkena dampak pencemaran air akibat limbah dari industri kelapa sawit. Banyak warga yang tidak bisa hidup mengharapkan dari alam sekitarnya, mau tidak mau warga kebanyakan khususnya pria meninggalkan desanya untuk mencari pekerjaan baru. Sementara kaum wanita tetap bertahan dengan ikan papuyuh yang masih tersisa untuk dimakan. Di pedalaman Ketapang, Kalimantan Barat, terdapat koperasi kredit untuk tempat meminjamnya uang untuk membangun usaha. Tidak dibatasi usahanya apa, namun tidak diperuntukan untuk perkebunan kelapa sawit. Masyarakat sana menganggap di bidang lingkungan, kelapa sawit dapat merusak ekosistem. Seperti sumber air akan mengering, saat hujan pun akan banjir yang tentu saja bisa berdampak ke masyarakat yang ada disitu. Perkebunan kelapa sawit ini juga bisa disetir oleh pemodal-pemodal besar dengan sistem monopoli. Bagi koperasi kredit, perkebunan kelapa sawit adalah ekonomi yang mahal untuk lingkungan dan komunitas sosial masyarakat. Koperasi kredit tersebut mendorong masyarakat untuk tidak bergantung pada satu jenis tanaman. Lain hal dengan bank-bank dan lembaga investasi dunia yang bisa memberi kredit bagi usaha perkebunan kelapa sawit karena dunia sangat membutuhkan kelapa sawit. Dimana kelapa sawit sekarang terdapat dalam bahan makanan, bahan kimia dan bahan bakar untuk mengurangi pemakaian bahan bakar berbahan fosil. Populasi di dunia semakin banyak, otomatis permintaan semakin naik juga. Namun 45% dari tanaman kelapa sawit di Indonesia dikelola oleh petani kecil telah menghidupi setidaknya 16 juta jiwa. Akhirnya banyak petani yang memiliki lahan dari para leluhur enggan untuk diambil paksa tanahnya, tetapi siapa kah yang menyuruh untuk meratakan lahan yang dimiliki oleh petani tanpa adanya sebuah kejelasan yang pasti?

            Di Seruyan, Kalimantan Tengah, masyarakat desa mayoritas menggantungkan hidupnya pada industri sawit. Lagi-lagi ada perusahaan yang menanam kelapa sawit secara sepihak bukan merupakan lahan yang perusahaan itu punya. Perusahaan itu justru melaporkan pemilik lahan atas tudungan pencurian kelapa sawit, padahal itu tanah punya si pemilik lahan. Masyarakat lain dapat belajar menghindari konflik yang pernah terjadi itu, dengan mengirim komplain jika lahan diambil dan jika ingin mengambil lahan harus ada kesepakatan antara perusahaan dan pemilik lahan untuk membayar tanah tersebut. Perusahaan bisa saja memiliki akal jahat dengan melakukan kriminalisasi untuk menguasai seluruh lahan. Ironis memang. Bagi masyarakat yang tidak memiliki tanah, bekerja pada perusahaan kelapa sawit dengan status bukan pekerja harian lepas. Dimana tidak mendapatkan tunjangan beras, jaminan kesehatan dan hak cuti. Terlambat bekerja atau tidak tepat waktu pun bisa mengurangi upah.

            Di Merangin, Jambi, terdapat penanam kelapa sawit yang tidak mendaftarkan kebunnya ke sertifikasi sistem yang menjamin bahwa produk kelapa sawit yang dijual tidak merusak lingkungan, tidak melanggar hak asasi manusia, memperlakukan pekerjanya dengan baik atau tidak terlibat konflik dengan masyarakat. Penanam juga melakukan pembakaran lahan sebelum menanam kelapa sawit, di beberapa perkebunan, anak-anak juga dipekerjaan meski hal ini menyalahi standar praktik industri kelapa sawit. Banyak juga orang yang tidak bergantung pada perkebunan kelapa sawit, yaitu bergantung pada padi, ternak dan karet. Semua itu bisa memenuhi kebutuhan pokoknya untuk dirinya sendiri tanpa harus takut kekurangan stok bahan. Tetapi kebutuhan dunia semakin meningkat, perusahaan bisa saja mengambil alih lahan jika masyarakat tidak cukup ilmu dalam strategi mengamankan lahan yang dimilikinya.

            Menurut pendapat saya tentang film ini, banyak perusahaan yang memberi penawaran kepada masyarakat sekitar khususnya yang tinggal di daerah hutan untuk membeli tanah, namun hutan adalah sumber dari kehidupan. Jangan hanya memikirkan manusia saja, hewan juga makhluk hidup, dan tumbuh-tumbuhan itu diperlukan oleh makhluk hidup. Pemerintah bisa berkata semaunya namun ekspektasi yang didapatkan oleh masyarakat tidak sesuai. Perlunya edukasi terhadap masyarakat desa agar tidak terlena oleh janji-janji perusahaan. Pengambilan lahan secara sepihak pun berpeluang besar pada perusahaan-perusahaan besar, sementara yang mempunyai lahan itu sendiri dianggap melakukan pencurian terhadap lahan. Pembakaran hutan diuntungkan kepada pihak perusahaan, meskipun lahan dari masyarakat sudah dibeli, masyarakat disekitar merasakan dampak dari kebakaran itu seperti asap kabut yang dapat membahayakan pernapasan. Pihak perusahaan seharusnya sudah mengetahui apa dampaknya namun enggan memberikan pertanggung-jawaban. Sama hal nya juga seperti limbah industri yang dibuang ke sungai yang menyebabkan ekosistem air rusak dan ikan mati.

Comments

Popular posts from this blog

Enhanced Entity Relationship Diagram (EERD)